Belum lama ini, blog pribadi saya dikunci oleh akun blogger. Saya pun tidak bisa membukanya. Saya kemudian membuka alamat email. Di dalam email tersebut saya mendapat email resmi dari blogger mengenai "kesalahan" dalam menggunakan blog. Tulisan saya dianggap terlalu membuat kontroversi.
Saya pun kemudian mengirimkan email kembali kepada blogger bagaimana cara agar blog saya bisa dibuka. Tidak lama kemudian blogger mengirimkan balasan email. Intinya, agar apa yang saya tulis tidak mengandung konten-konten yang sekiranya menimbulkan keresahan di dalam masyarakat.
Saya pun berterima kasih kepada blogger. Semua ada hikmahnya. Barangkali ini adalah teguran agar saya berhati-hati dalam menulis. Menulis tetap menulis, yang penting jangan terlalu membuat resah, kontroversial atau yang sekiranya membuat gaduh di dalam masyarakat.
Namun demikian, saya kadang bertanya-tanya di dalam hati. Dalam email tersebut ternyata ada seorang pembaca yang melaporkan kepada blogger mengenai tulisan saya yang dianggap "melanggar batas". Pembaca tersebut kemudian mengirim pesan kepada blogger agar mengunci blog saya. Pertanyaannya, inilah yang namanya komentar ilmiah?
Sebatas penelusuran yang saya tahu, pemikiran ilmiah itu harus dibalas dengan pemikiran ilmiah. Tidak bisa dibalas hanya dengan melapor kepada pemilik resmi akun blogger. Ia seharusnya memberikan sanggahan kepada saya dengan cara menulis sebuah artikel pula.
Anehnya, sebagian orang dengan mudah menggeneralisir yang bagian atas atau judul tulisan. Orang tidak mau melihat isi artikel secara keseluruhan. Kalau mau membaca isinya secara totalitas, mungkin alur ceritanya akan berbeda. Intinya, membaca tulisan itu harus secara keseluruhan, jangan hanya parsial.
Berpikir Bebas Selama Tidak Bertindak Bebas
Prof. Musa Asy'ari, alumni santri Tremas Pacitan yang juga mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pernah berkata bahwa berpikir bebas itu tidak masalah. Yang tidak boleh menurut beliau adalah bertindak bebas.
Coba disimak! Mau makar terhadap negara, misalnya, tidak masalah selama itu masih dalam tahap pemikiran semata, belum sampai aksi nyata. Itu masih hanya angan-angan belaka. Yang tidak boleh adalah ketika angan-angan tersebut sampai dipraktikkan beneran. Berbahaya. Siapa yang memang mau makar terhadap negara urusannya bisa sama aparat penegak hukum.
Dalam Islam, niat buruk selama itu belum dilakukan tidak mendapat dosa. Sebaliknya, niat baik walaupun belum dipraktikkan namun sudah secara otomatis mendapatkan pahala dari Tuhan.
Presiden pertama RI, Ir. Soekarno pernah menulis buku yang judulnya cukup membuat kontroversi. Buku tersebut berjudul Islam Sontoloyo. Bila melihat secara kasat mata, orang akan menilai bahwa Bung Karno adalah orang yang aneh, kurang waras dan lain sebagainya.
Pada saat yang sama, Mohammad Natsir langsung mengkritik Bung Karno. Apa yang dilakukan? Ternyata beliau membuat buku, bukan hanya dengan komentar asal ucap saja. Itulah komentar ilmiah. Beliau membuat buku yang berjudul Islam dan Akal Merdeka. Buku tersebut merefleksikan ketidaksetujuan beliau terhadap buku yang ditulis Bung Karno.
Harun Nasution yang merupakan mantan Rektor IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta juga pernah menulis buku yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974). Mohammad Rasjidi pada saat itu langsung mengkritik. Buku yang dibuat oleh Rasjidi berjudul Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution; Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Rasjidi juga pernah membuat buku yang berjudul Koreksi Terhadap Nurkholis Madjid tentang Sekularisme.
Kasus terakhir yang beberapa tahun terjadi adalah disertasi milik Abdul Aziz. Disertasi itu berjudul, Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital. Banyak orang yang mengkritik disertasi tersebut. Seakan-akan seks bebas dibolehkan. Padahal bukan itu yang dimaksud oleh Abdul Aziz.
Anehnya, orang dengan mudah mengatakan bahwa Abdul Aziz itu adalah orang yang sesat, bejat, tidak beradab, misalnya, hanya karena melihat judulnya. Mereka belum tahu inti atau isi secara garis besar disertasi tersebut.
Kalau mereka sudah membaca disertasi tersebut mungkin ceritanya akan berbeda. Pertanyaannya, apakah mereka mau membaca disertasi yang tebalnya mencapai ratusan halaman? Inilah kelemahan sebagian warga masyarakat, malas membaca namun dengan mudah mengkritik karya orang lain.
Apa yang saya tulis sesungguhnya ingin mengatakan bahwa sebuah pemikiran itu harus dibalas dengan pemikiran, bukan dengan fatwa. Buku harus dibalas dengan buku. Artikel harus disanggah dengan artikel. Disertasi harus dikritik dengan disertasi. Begitu pula seterusnya. Mengomen karya ilmiah namun hanya dengan sebuah ucapan atau fatwa itu namanya bukan komentar ilmiah. Semoga bermanfaat.
Salatiga, 5 Agustus 2021
Komentar
Posting Komentar