Beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi acara saparan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Pengunjungnya sangat banyak. Para pedagang juga banyak yang berlalu-lalang, ikut meramaikan acara tersebut sembari mencari uang.
Jika melihat acara saparan, paling tidak di sana terdapat beberapa kesenian daerah. Ada kuda lumping, karnaval desa, bersih desa dan lain sebagainya. Bila uangnya warga masyarakat memungkinkan, biasanya menyelenggarakan wayang kulit. Bila uangnya dalam jumlah sedikit, biasanya hanya menyelenggarakan kuda lumping atau reog lokal.
Yang jelas, tradisi saparan harus tetap dijaga. Jika tidak dijaga, maka bisa jadi sejarah akan hilang. Sejarah hanya akan menjadi dongeng belaka. Sejarah akan menjadi hilang oleh karena tidak ada bekas atau tidak ada jejak fisiknya.
Jika mencermati acara saparan, maka di sana antara orang miskin dan orang kaya tidak ada bedanya. Semuanya setara. Semuanya mengeluarkan makanan, yang kemudian dimakan oleh para tamu yang datang. Yang tidak ada terkadang harus diada-adakan. Prinsip mereka sebenarnya hanya satu yaitu membahagiakan orang lain--dalam hal ini adalah para tamu--sekaligus merawat budaya yang ada.
Jika melihat kehidupan di tengah kota, terkadang saya merasa risih. Meskipun orang yang berada di tengah kota mempunyai uang yang banyak misalnya, akan tetapi akhlak mereka terkadang masih kalah jauh bila dibandingkan dengan orang yang berada di desa. Orang yang berada di tengah kota terkadang merasa bingung manakala akan memberikan sebuah makanan kepada tetangganya. Mau memberi makanan terkadang merasa ragu oleh karena takut jika yang diberi akan merasa dilecehkan. Akibatnya, makanan pun sampai busuk dan akhirnya dibuang ke tempat sampah.
Saya pernah mendapatkan sebuah cerita dari seorang warga, yang hidupnya di dalam sebuah perumahan. Menurutnya, hidup di dalam perumahan kurang begitu menyenangkan. Masih mending hidup di dalam desa. Di desa, meskipun terkadang sulit dalam mendapatkan makanan, akan tetapi guyub rukun warga masih sangat kuat. Hal yang demikian itulah yang membuat ia menjadi semakin betah menetap di pedesaan.
Sebenarnya bukan membahas masalah makanan. Orang Jawa mengatakan bahwa membahas masalah makanan adalah sesuatu yang saru (pamali). Orang kota terkadang sangat sepele dalam menghormati tamu, meskipun tidak semuanya seperti itu dan pada intinya dikembalikan kepada individunya masing-masing.
Berbeda lagi dengan orang desa, yang sangat menghormati tamu. Yang tidak ada, sebagaimana di muka, terkadang harus hutang kepada tetangga sebelah guna menghormati tamu. Apakah ada orang desa yang pelit? Tentu juga ada. Akan tetapi oleh karena dalam lingkup skala yang kecil, maka akhirnya orang yang pelit tersebut akan tertutupi.
Oleh sebab itu, saya kemudian menyimpulkan bahwa di dalam tradisi saparan tersebut semuanya setara. Antara orang yang miskin dan orang yang kaya tidak ada bedanya. Semuanya kaya. Orang-orang desa mempunyai kekayaan yang sesungguhnya yaitu kaya akan hati. Hal yang demikian, boleh percaya atau tidak, akan menjadikan orang desa kehidupannya lebih bahagia. Wallahu a’lam.
Getasan, 12 November 2018