![]() |
sumber gambar: hipwee.com |
Gambar di atas merupakan contoh bagaimana yang seharusnya kita lakukan saat ini. Selain degradasi moral yang semakin menurun, sikap individualisme di dalam masyarakat tampaknya juga sudah semakin meningkat. Kalau dulu sikap seperti itu banyak dilakukan oleh orang kota, saat ini orang desa sudah banyak yang terkontaminasi. Sehingga jangan kaget umpama melihat orang desa yang sudah mulai sedikit tidak memperhatikan tetangga sekitarnya.
Saya melihat gambar seperti di atas sudah sekitar tiga kali. Dan itu semua berada di wilayah Kabupaten Semarang. Pertama di daerah Kec. Banyubiru, Pabelan dan terakhir Tuntang. Oleh karena saya ketika pergi kadang tidak membawa HP, sehingga belum sempat memotret gambar tersebut. Tidak masalah, melalui dunia maya juga sudah cukup banyak gambarnya. Dan gambar di dalam tulisan ini merupakan salah satu contohnya.
Salah satu yang menjadi faktor penyebab meredupnya budaya srawung adalah dunia maya. Dunia maya yang memiliki banyak manfaat, sudah barang tentu juga mempunyai dampak negatif. Artinya, baik dan buruknya manusia dalam menggunakan dunia maya, sesungguhnya terletak di dalam bagaimana cara mengelolanya. Bila manusia tidak berhati-hati dalam menggunakannya, maka juga harus sudah siap menanggung resiko yang ditimbulkannya.
Dampak positifnya sudah terlihat secara kasat mata. Dulu perbedaan antara orang kota dan orang desa masih begitu mencolok. Namun zaman sekarang sudah mulai tidak kelihatan. Orang kota dengan mudah membeli pakaian, misalnya, orang desa juga sudah tidak kesulitan. Di desa sudah banyak pedagang pakaian keliling yang menjual aneka warna dan jenis pakaian. Apalagi bagi orang desa yang mempunyai pemikiran maju, dengan memencet HP kemudian barang yang sudah dipesan dalam waktu yang tidak lama akan sampai di depan rumah.
Orang kota mudah menggunakan internet, orang desa pun sudah banyak yang tidak kesusahan mengaksesnya. Di desa-desa sudah banyak bermunculan tower pemancar baru, sehingga akses sinyal internet pun menjadi semakin mudah. Orang kota mudah untuk akses kuliah, kini di desa-desa pun sudah banyak kampus baru; entah itu memang "kampus asli" ataupun hanya "kampus cabang".
Yang masih sulit untuk disamakan mungkin masalah bahasa. Sekalipun orang kota misalnya mendapat predikat kaum terdidik, namun orang desa -- utamanya orang pegunungan -- biasanya lebih unggul dalam masalah bahasa. Mereka biasanya menggunakan bahasa yang lebih halus, melebihi halusnya orang-orang kota.
Kecanggihan akan internet secara tidak langsung juga berimbas pada perilaku seseorang. Dulu seorang yang ingin makan harus bersusah payah terlebih dahulu. Berjalan kaki ke pasar misalnya, setelah itu bisa memperoleh sebungkus nasi yang selanjutnya bisa dimakan.
Kemudian muncul sepeda motor baru. Orang-orang sudah tidak berjalan kaki lagi. Mereka pergi ke pasar dengan menggunakan sepeda motor tersebut; baik milik sendiri, tetangga ataupun sepeda motor milik tukang ojek.
Semakin ke sini, ternyata juga semakin canggih. Sekarang tidak usah pergi ke pasar. Asalkan mempunyai HP android yang akses sinyalnya lancar, tinggal memesan nasi bungkus kemudian sampai rumah. Orang-orang sekarang akhirnya secara tidak langsung banyak yang menjadi pemalas. Selain itu, juga banyak yang senang dengan sesuatu yang praktis.
Selain praktis, budaya srawung juga sudah semakin memudar. Budaya srawung (gotong royong), tampaknya menjadi perhatian khusus Pemerintah Kabupaten Semarang. Alasan kuliah, sibuk kerja dan lain sebagainya -- sebagaimana dalam gambar tersebut -- sesungguhnya tidak boleh untuk menjadi alasan. Pada intinya, kita harus pintar mengatur dan mengelola waktu dengan baik. Ayo kita srawung!
Salatiga, 11 Juni 2020